Insiden peretasan Sony dan prasangka yang ternyata kemudian tak terbukti akan keterlibatan Korea Utara seharusnya meninggalkan kesan mendalam bagi "negara-negara lemah" lain, alias negara-negara berkembang atau yang sering disebut sebagai dunia ketiga (meski dengan tiadanya dunia kedua/komunis istilah ini sudah usang).
Saat gembar-gembor penyerangan jaringan Sony oleh Korea Utara, semua pihak curiga itu ada kaitannya dengan filem The Interview yang akan dirilis Sony saat Natal.
Filem itu menggambarkan 2 jurnalis blog yang diundang salah satu penggemar blognya, yang kebetulan adalah pemimpin Korea Utara/Korut. Dinas rahasia AS kemudian memanfaatkan undangan itu untuk merancang pembunuhan pemimpin Korut lewat kedua blogger itu. Penggambaran adegan pembunuhan itu memang kuat diwarnai aroma menghina pemimpin negara berdaulat lain, yakni Korea Utara.
Semua pihak mencurigai Korut di balik serangan itu meski ada suara berkepala dingin yang masih meragukan asal serangan itu,
FBI merilis pernyataan pada hari Jumat [12 Des 2014] mengatakan bahwa warga Korea Utara jelas yang bertanggung jawab atas peretasan Sony, sebab badan itu "kini telah memiliki cukup informasi" untuk menyatakan itu. ... Tindakan Korea Utara itu berniat untuk "menekan hak warga Amerika untuk mengungkapkan dirinya," demikian dicatat pernyataan itu. "Tindak intimidasi seperti itu jatuh di luar batas perilaku yang bisa diterima." ... Mark Rogers, yang menjadi bagian juri/dewan yang menentukan siapa yang boleh menyajikan makalah di DEF CON, konferensi retas kelas satu, menyebut bukti FBI "lemah" dan "paling banter, spekulasi." (Anna Mulrine, "Was North Korea behind the Sony hack? Not all experts agree", CSMonitor.com; Dec. 22, 2014).Tak lama sesudah berita di atas, keluar bantahan tegas bahwa Korut bukan biang di balik serangan itu ("No, North Korea Didn’t Hack Sony", TheDailyBeast.com, 12.24.14).
Namun meski sudah dibantah oleh sumber yang terpercaya, berdasarkan prasangka dan bukti lemah FBI, pemerintah AS secara diam-diam melakukan serangan retas balasan yang melabilkan infrastruktur Internet Korut sejak Jumat (19 Des) hingga melumpuhkannya total pada Senin (22 Des 2014).
Serangan balik itu dilakukan hanya sekian hari setelah Presiden Obama bersumpah bahwa AS akan melancarkan "respon proporsional" atas serangan terhadap jaringan Sony di AS (Nicole Perlroth & David E. Sanger, "Attack Is Suspected as North Korean Internet Collapses", NYTimes.com, Dec 22, 2014).
Hal yang menjadi menarik dari percekcokan antar-negara di atas adalah betapa AS—meski dengan presiden dari kalangan minoritas—masih gemar memelintir definisi kebebasan ekspresi asal selaras dengan selera politik mereka.
Andai yang dihina dalam filem itu adalah presiden Israel misalnya, mungkin Obama akan menyatakan itu sebagai penistaan pribadi dan melanggar HAM. Artinya, bagi apapun dan siapapun yang berada di luar lingkaran aliansi AS—yang meliputi Eropa, Australia/Selandia Baru, Jepang, Israel, dan sebangsanya—HAM tidak berlaku.
Dari sana kita bisa melihat bahwa "Korut" berikutnya bisa saja adalah Indonesia (Muslim sunni terbesar), Iran (Muslim syi'ah terbesar), RRC (komunis terbesar), Brazil (negara Amerika Selatan terbesar), India (negara Hindu terbesar), atau negara-negara lain yang dianggap "remeh" dan "budaya yang berbeda (dan karenanya 'salah')"—hingga boleh diperlakukan buruk dan hina bagai peran antagonis dalam filem-filem Hollywood.
Ini bukan berarti kita membenarkan tindakan Korut yang merepresi warganya, tapi kita harus sadar bahwa apa yang dialami Korut bisa menimpa negara ketiga manapun yang berselisih dengan negara-negara kuat seperti AS, Eropa, atau sekutu-sekutu negara majunya yang lain seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Singapura, atau Afrika Selatan (yang dianggap sebagai negara Afrika yang paling sejalan dengan pandangan hidup Yudeo-Kristiani yang mengakar kuat dalam alam bawah sadar AS dan sekutunya).
Jadi, alih-alih ikut menertawakan Korut dan ramai-ramai ikut mengunduh filem The Interview—yang jelas meremehkan dan merendahkan sebuah "negara dari dunia ketiga"—kita semestinya sadar dengan posisi kita di mata negara-negara maju itu, yakni sama seperti "Korut". Mengunduh filem itu apalagi menontonnya, sama dengan menghina diri kita sendiri.
Andaipun ada pengadilan singkat (pengadilan pelanggaran ketertiban/ringan dengan waktu cepat dan denda yang biasanya ringan semisal pengadilan tilang) di level PBB yang memungkinkan tiap negara mengajukan percekcokannya, maka AS sebagai negara yang merasa dirinya kuat secara militer akan tetap dengan seenaknya menghukum negara lain yang ia anggap harus dihukum.
Bukan berdasarkan keadilan, tapi berdasarkan kekuatan. AS kuat, jadi ia bebas menghukum negara manapun yang ia mau. Meski berdasarkan bukti-bukti yang jelas-jelas akan diabaikan hakim di pengadilan PBB tadi (bila memang ada), apalagi di pengadilan dalam negeri AS sendiri!
Suatu negara akan dihukum bukan karena ia salah, tetapi karena negara penghukum bisa melakukan itu, dan lebih suka menggunakan prinsip kekuatan dalam hubungan dengan negara yang lebih lemah—alih-alih prinsip keadilan. Ini resep manjur bagi pembalasan setimpal di masa depan, saat AS bukan lagi negara terkuat.
Saat ditanya Guru Drona tentang bagaimana menghadapi negara yang lebih kuat dan negara yang lebih lemah, Yudhisthira menjawab, "Dengan negara kuat, kita jangan mengandalkan negosiasi, tapi harus siap melawan (kekuatan), karena negosiasi dengan negara kuat bisa berujung dengan penindasan bagi pihak kita. Namun dengan negara lemah, kita harus mengedepankan diplomasi (keadilan), karena itulah jalan menuju perdamaian yang langgeng."
AS jelas lebih suka menjadi pemimpin dunia yang zalim daripada yang bijak, dan ini membuat dunia ketiga melihat bahwa perlawanan orang-orang kecil seperti di Palestina—bahkan mereka yang kini dicap "teroris" oleh AS dan sekutunya, mungkin ada benarnya.
Selama kekuatan masih dimonopoli satu negara, maka tak ada yang bisa mencegahnya untuk bertindak zalim, selain dirinya sendiri. Belajar dari ahli strategi klasik Cina, Zhuge Liang, butuh 3 aliansi yang sama kuat untuk menyeimbangkan orde dunia, untuk mengembalikan lagi keadilan dalam relasi antar-negara.
Mungkin keseimbangan itu kira-kira:
1. AS dan sekutunya,
2. RRC, dan mungkin
3. kekuatan ketiga dari dunia Islam—yang kemungkinan besar tidak dipimpin oleh Indonesia (supaya orang kita tidak ge-er).
Kitab Suci mengajarkan bahwa nasib suatu bangsa tidak akan berubah hingga bangsa itu merubah apa yang ada dalam dirinya. Sejarah mengajarkan, perubahan selalu dimulai oleh segelintir kelompok cerdas dalam suatu masyarakat. Gerakan 1% orang ini mengubah 99% yang lain.
Kelompok elit 1% ini biasanya kalangan dengan gagasan dan kompetensi yang di atas rata-rata masyarakatnya. Biasanya dari lingkaran cendekia masyarakat itu. Lingkaran ini tersusun dari orang-orang dengan kompetensi unggul di bidangnya masing-masing. Tiap mereka adalah individu yang cerdas di bidangnya, meski tak harus berhasil secara ekonomi.
Dulu di Makkah segelintir orang ini terdiri dari Abu Bakar, Umar, Ali, dalam pimpinan seorang Nabi [saw]. Dulu di AS segelintir orang ini adalah Jefferson, Hamilton, Adams, dalam pimpinan Washington. Dulu di Cina mereka adalah Liu Bei, Guan Yu, Zhang Fei dalam bimbingan Zhuge Liang.
Siapakah mereka itu kini di Indonesia? Di dunia Islam? Anda bisa menjadi salah satu dari mereka itu. Tempalah diri Anda menjadi ahli paling kompeten di bidang Anda. Jangan terlena dengan siklus kehidupan sekolah, bekerja, berumah tangga, dan pensiun. Jalanilah jalan dalam kehidupan yang jarang dilalui orang (road less-traveled), karena jalur itulah yang dilalui mereka-mereka itu.
Ini terutama tugas bagi kalangan paling cerdas di negeri ini. Meretas jalan di jalur-jalur yang jarang atau belum dilalui orang-orang sebangsanya. Membuka jalur untuk Indonesia yang lebih bermartabat, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat nanti.
Bukan sekadar mencari jalan agar bisa hidup enak. Kecerdasan lebih yang diamanahkan kepada Anda membawa tanggung jawab besar pula yang harus Anda pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi nanti.
Wahai Allah [Swt] keluarkanlah kami dari tahun lalu dengan benar, dan masukkanlah kami ke tahun baru ini dengan benar. Keluarkanlah kami dari era jahiliah baru ini dengan benar, dan masukkanlah kami ke era pencerahan baru dengan benar, amin!
Selamat tahun baru![]